Sementara untuk pasar domestik, pemerintah mendorong agar lebih banyak menggunakan produk substitusi impor.
Kendati demikian, Kemenperin menyoroti persoalan internal di tubuh Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI).
Dari 20 anggota asosiasi, hanya 15 perusahaan yang melaporkan aktivitas industrinya melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), sedangkan lima lainnya tidak melapor.
Baca Juga: Begini Tips Memilih Micellar Water untuk Kulit Kering Harga Mulai Rp20 Ribuan
Perihal itu, Febri menyebut adanya kontradiksi pada sebagian anggota APSyFI.
Beberapa perusahaan justru tercatat meningkatkan impor hingga 239 persen dalam setahun, dari 14,07 juta kilogram pada 2024 menjadi 47,88 juta kilogram pada 2025.
“Di satu sisi mereka menuntut proteksi, di sisi lain aktif menjadi importir. Ini melemahkan posisi asosiasi yang mengklaim sebagai garda depan tekstil nasional,” terangnya.
Baca Juga: Royalti Musisi-Penulis Tanah Air Disebut Bakal Dikenakan Tuk Platform Global
Kemenperin menekankan, pemerintah sebenarnya telah memberikan berbagai instrumen perlindungan.
Di antaranya, yakni BMAD Polyester Staple Fiber (PSF) hingga 2027, BMAD Spin Drawn Yarn (SDY) sampai 2025, serta Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk benang serat sintetis hingga 2026 dan kain sampai 2027.
Diberitakan sebelumnya, KADI sempat mengusulkan pengenaan BMAD dalam rentang 5,12 hingga 42,3 persen terhadap benang filamen tertentu.
Baca Juga: Infinix Luncurkan Seri Terbarunya, Hot 60 Pro untuk Pencinta Gadget di Segmen Entry Level
Namun, usulan tersebut akhirnya ditolak oleh Menteri Perdagangan, Budi Santoso.
Penolakan itu didasarkan pada masukan berbagai pihak, termasuk Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Kepala Bappenas, Kemenperin, hingga Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).***
Artikel Terkait
Dukung EBT, Perusahaan Tekstil di Tegal Gunakan Energi Hijau Selama 10 Tahun
Seperti Ini Kilas Balik Masa Jaya Sritex, Raksasa Tekstil RI yang Pernah Mendunia! Kini PHK Ribuan Karyawan