VIMANEWS.ID-TEGAL-Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dari Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Jawa Timur menggelar Rembuk Nelayan dalam rangka menyikapi permasalahan nelayan di sebuah rumah makan di Kota Tegal Rabu (1/6/2022) siang.
Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah, Riswanto mengatakan rembuk nelayan ini dilaksanakan menyikapi kebijakan indeks tarif pasca produksi pada PP Nomor 85 Tahun 2021.
"PP Nomor 85 Tahun 2021 tersebut mengatur tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan sebesar 10% bagi pelaku usaha dan nelayan yang dinilai sangat memberatkan," terang Riswanto.
Belum lagi, sambungnya, para nelayan di lapangan juga harus menerima sanksi pelanggaran administrasi, yang mempersempit peluang-peluang usaha untuk bertahan.
"Setelah ini kita akan bersurat ke kementerian terkait dan Presiden Joko Widodo, sehingga harapannya suara-suara kita di bawah bisa didengar," ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Umum FNB Kajidin mengatakan, perwakilan nelayan dari berbagai daerah se-Jawa dan DKI Jakarta, sepakat untuk melebur menjadi Front Nelayan Bersatu (FNB).
"Kami mendeklarasikan tujuh penyataan sikap kepada pemerintah, khususnya untuk Presiden Joko Widodo serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),"jelas Kajidin.
Pernyataan tersebut, kata Kajidin diantaranya merevisi peraturan pemerintah yang tertuang dalam PP Nomor 85 Tahun 2021 terkait indeks tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pasca produksi untuk ukuran kapal 60 grosston (GT) sebesar dua persen, ukuran kapal 60 GT sampai 1.000 GT adalah tiga persen.
Menurutnya, FNB juga menolak perikanan terukur dengan sistem kuota dan menolak masuknya kapal asing dan eks-Asing ke wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia serta penurunan tarif tambat labuh.
"Kami juga meminta alokasi izin penangkapan dua WPP yang berdampingan dan mengusulkan adanya Bahan Bakar Minyak (BBM) Industri khusus untuk kapal nelayan di atas 30 GT dengan harga maksimal Rp 9.000 per liter,"tandasnya.
Masih dalam penyataan sikap, lanjut Kajidin, FNB meminta alokasi tambahan BBM bersubsidi jenis solar untuk nelayan dengan ukuran kapal maksimal 30 GT dan pertalite bersubsidi untuk kapal di bawah 50 GT.
Lebih lanjut Kajidin memgatakan, FNB juga akan meminta pemerintah merevisi sanksi denda administrasi terkait pelanggaran WPP dan Vessel Monitoring Solution (VMS).
Pemerintah, imbuhnya harus lebih mengedepankan tindakan pembinaan dalam pelaksanaan penegakan hukum kapal perikanan dan mengakomodir kapal eks-Cantrang untuk dialokasikan izin menjadi jaring tarik berkantong dan mempermudah perizinannya.
"Kami berharap pernyataan sikap ini dapat ditindaklanjuti pemerintah dalam waktu sekurang-kurangnya satu bulan. Jika tidak, kami tidak bisa membendung pergerakan nelayan ke Istana Presiden," pumgkasnya.