Sedangkan pada hal bersifat jahat dilakukan persembahan berupa TUMBAL.
Kapitayan ini lebih mengarah kepada ketauhidan, mereka tidak menyembah pohon maupun bebatuan.
Namun mereka hanya sebatas menghormati apa yang dihadirkan Sanghyang Tunggal dalam kehidupan mereka.
Kapitayan adalah agama yang membuka pintu selebar-lebarnya di tanah air bagi masuknya agama lain.
Pada masa itu Kapitayan hanya menerima ajaran agama Hindu Siwa yang memiliki pola pandang tentang ketuhanan yang sama.
Sedangkan Islam masuk dan diterima oleh umat Kapitayan setelah mereka menjelaskan pandangannya tentang Tuhan itu satu.
Baca Juga: Papeda Jadi Tampilan Google Doodle, Begini Kisah Sejarah Sagu Bagi Kuliner Warga Papua
Nilai-nilai Kapitayan inilah yang kemudian di adopsi oleh Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam.
Ajaran Wali Songo yang pertama kali di sebar luaskan adalah SEMBAHYANG.
Pada agama kuno Kapitayan memaknai Sembahyang sebagai menyembah Sanggyang Taya.
Wali Songo menjadikan tempat-tempat beribadatan untuk masyarakat Kapitayan ini dengan memberi nama LANGGAR (mushola atau masjid dalam agama Islam).
Poso Dino Pitu sebagai ibadah Kapitayan digunakan oleh Wali Songo dengan puasa senin dan kamis.
Dalam perspektif Islam Wali Songo kemudian merubah tradisi Kapitayan pada hal Tumpengan menjadi kata Sedekah.
Upaya yang dilakukan oleh Wali Songo ini mengingatkan perkatakan Gus Dur berikut ini.
"Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur menjadi budaya arab, pertahankan apa yang menjadi milik kita, serap ajarannya bukan budaya arabnya."
Artikel Terkait
Sejarah Batik di Indonesia, Dari Masa Kerajaan Hingga Sekarang
Menengok Sejarah Sekolah Tertua Di Kota Tegal, Sekolah Dasar Islam Ini Berusia 100 Tahun
Dirgahayu TNI 2023, Cerita Sejarah Korps Marinir TNI AL Di Kota Tegal
Ingat Pesan Jendral Besar TNI, Kalimat Penuh Sejarah 28 Tahun Silam Itu Kini Menjadi Kenyataan
Mengenal Sejarah Gunung Kawi Di Jawa Timur yang Terkenal Sebagai Tempat Pesugihan