"Ini tidak terjadi dalam penyusunan draf RUU Penyiaran," ucapnya.
Larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran, imbuhnya bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.
Dampak lainnya dari larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers.
"Padahal jelas tertera pada pasal 15 ayat (2) huruf a, fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain,"ungkapnya.
Selain itu, Ninik juga menyoroti terkait penyelesaian sengketa pers di platform penyiaran.
“Sesuai UU Pers, itu menjadi kewenangan Dewan Pers. KPI tidak mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa pers,” kilahnya.
Baca Juga: Punya Ekosistem Media Daring yang Sehat! Bank Jateng Beri Apresiasi Promedia Teknologi
Sedangkan anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengutarakan upaya menggembosi kemerdekaan pers sudah lima kali dilakukan oleh pemerintah maupun legislatif.
Antara lain tecermin melalui isi UU Pemilu, peraturan Komisi Pemilihan Umum, pasal dalam UU Cipta Kerja, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan terakhir RUU Penyiaran.
Yadi juga menilai bahwa RUU Penyiaran ini jelas-jelas secara frontal mengekang kemerdekaan pers.
Suara penolakan juga datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang disampaikan oleh Kamsul Hasan.
RUU Penyiaran itu, kata Kamsul, jelas-jelas sangat bertentangan dengan UU Pers.
"PWI meminta agar draf RUU Penyiaran yang bertolak belakang dengan UU Pers," kata Kamsul.