Pada pelaksanaannya, Kemenag di bawah kepemimpinan Yaqut Cholil Qoumas dianggap mengubah alokasi kuota tambahan tersebut menjadi 50:50, yaitu 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Hal itulah yang pada akhirnya menjadi titik awal polemik.
Sebagai seorang analis kebijakan, tulisan ini disusun sebagai respons atas polemik yang beredar di ranah publik mengenai penyelenggaraan haji 2024, khususnya setelah pembentukan Pansus Hak Angket Haji di DPR.
Baca Juga: Dari Kue Apem ke Es Doger: Begini Cerita Pedagang Kecil Rasakan Merdeka di Istana
Tentunya, dengan melihat polemik tersebut kita bisa mengkaji secara objektif, berdasarkan data dari berbagai media, apakah tindakan Kementerian Agama (Kemenag) dalam mengelola kuota haji merupakan sebuah pelanggaran konstitusi.
Melalui penulisan ini juga bisa memberikan perspektif yang lebih mendalam dan komprehensif dari sisi teknis dan administratif.
Pelaksanaan ibadah haji pada tahun 2024 di Indonesia menjadi sorotan. Dan puncak dari polemik ini adalah pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Haji pada Selasa, 9 Juli 2024.
Sorotan utama yang memicu pembentukan pansus ini adalah adanya ketidaksesuaian atau ketidaksinkronan rumusan kuota haji 2024.
Ketidaksesuaian tersebut ditemukan antara dokumen hukum yang lebih tinggi, yaitu Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2024, dan Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (SK Dirjen PHU) Nomor 118 Tahun 2024.
Banyak pihak yang bertanya-tanya, termasuk para anggota DPR sebagai wakil rakyat. Mengapa terjadi perbedaan penetapan kuota antara produk hukum yang satu dengan yang lainnya, dan apakah hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran konstitusional?
Perlu diketahuia, penetapan kuota haji 2024 bermula pada Oktober 2023, ketika Indonesia menerima tambahan kuota haji sebanyak 20.000 jemaah.
Baca Juga: Gempa 6,0 SR Guncang Poso!Puluhan Warga Terluka, Fasilitas Ibadah Ikut Terdampak
Tentu saja, kabar tersebut disambut dengan antusiasme, namun juga menjadi tantangan besar bagi Kemenag.