Analisis Kewenangan dan Diskresi Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2019, Menteri Agama memiliki kewenangan administratif untuk menetapkan kebijakan teknis operasional haji sesuai kondisi yang berkembang.
Keputusan yang diambil Kemenag dapat dianggap sebagai bentuk diskresi, yaitu kebebasan pejabat publik untuk membuat keputusan di mana peraturan yang ada tidak memberikan panduan yang cukup.
Dalam hal ini, diskresi tersebut digunakan untuk menanggapi perubahan kebijakan zonasi yang tidak terduga dari Arab Saudi.
Baca Juga: Pengajuan PK Jessica Kumala Wongso dalam Kasus Kopi Sianida Kembali Ditolak MA
Menurut teori hierarki peraturan perundang-undangan, sebuah keputusan di tingkat bawah (SK Dirjen) tetap sah selama tidak bertentangan dengan peraturan di tingkat yang lebih tinggi (Keppres).
Dalam kasus ini, SK Dirjen berfungsi sebagai pedoman teknis operasional yang diperlukan untuk mengimplementasikan penyelenggaraan haji di tengah tantangan baru, tanpa mengubah esensi dari Keppres itu sendiri.
Pelaksanaan ini juga didukung oleh prinsip good governance yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.
Baca Juga: Pekan Qris Nasional 2025 di Tegal Diawali dengan Senam Bersama Organisasi Wanita
Kemenag telah melakukan upaya komunikasi, meskipun mungkin belum sepenuhnya sempurna, untuk memastikan keputusan dapat dipertanggungjawabkan.
Penting untuk dicatat bahwa masalah serupa juga dialami oleh negara-negara lain, seperti India, Gambia, Nigeria, dan Malaysia, yang juga berjuang menyesuaikan diri dengan kebijakan zonasi baru di Mina.
Hal ini memperkuat pandangan bahwa isu yang terjadi bukanlah akibat dari kelalaian Kemenag semata, melainkan tantangan global yang memerlukan penyesuaian cepat dan strategis. Melanggar Konsitusi?
Baca Juga: Pekan Qris Nasional 2025 di Tegal Diawali dengan Senam Bersama Organisasi Wanita
Berdasarkan data dan analisis yang ada, tidak terdapat bukti yang cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa Kementerian Agama melanggar konstitusi dalam perubahan kuota haji 2024.
Keputusan yang diambil merupakan respons sah terhadap perubahan kebijakan zonasi dari Kerajaan Arab Saudi, yang muncul setelah Keppres ditetapkan.
Meskipun terlihat adanya ketidaksinkronan administratif, tindakan tersebut adalah bentuk diskresi yang valid dan diperlukan untuk memastikan penyelenggaraan haji berjalan lancar, aman, dan tertib.